Breaking News
Loading...
Wednesday, January 29, 2020

Info Post

365INIDEWA - Musim 2006/2007 bisa dikatakan menjadi salah satu musim 'bencana' bagi Bayern Munchen. Pada musim itu, mereka gagal memepertahankan gelar juara Bundesliga dan hanya finish di peringkat 4 klasemen akhir Bundesliga.

Mereka juga gagal di ajang DFB Pokal, di mana mereka dipermalukan tim semenjana, Alemannia Aachen dengan skor 4-2 di babak ketiga. Perjalanan mereka di Liga Champions-pun hanya berlangsung hingga babak perempat final setelah dikalahkan oleh AC Milan.

Pada saat itu, Presiden Bayern Munchen, Franz Beckenbauer memutuskan melakukan perubahan di skuat Die Roten. Dimulai dengan mengganti pelatih kepala mereka yang semula dipegang Felix Magath dan digantikan oleh Ottmar Hitzfeld.

Di musim panas, Beckenbauer mengambil sebuah keputusan penting. Ia mengatakan bahwa kubu The Bavaria membutuhkan striker haus gol yang bisa menjadi jaminan gol bagi timnya. Pemain itu adalah Luca Toni.

Sumbu Panas 2005/06
Kami setuju dengan Der Kaiser, seperti itulah kita mengenal Luca Toni. Seorang penyerang haus gol yang klinis dan efektif di depan gawang.

Tentu semua masih ingat, di masa jayanya, penyerang kebanggaan Italia ini sempat dipanggil "Padron Toni" yang berasal dari sebuah karakter dalam novel Italia berjudul ‘I Malavoglia.’ Sosoknya begitu disegani di atas lapangan -layaknya seorang Godfather seperti di cerita mafia-mafia- sehingga ia mendapat julukan tersebut.

Mantan pemain kelahiran Pavullo nel Frignano, Italia tersebut adalah salah satu sosok yang bertanggung jawab terhadap panasnya aura kompetisi Serie A musim 2005/06. Penampilannya sangat menyala ketika itu.

Ia menyumbangkan 31 gol untuk La Viola, menjadi top skorer Serie A di akhir musim, serta turut membantu Fiorentina menempati peringkat 4 klasemen akhir, meski akhirnya dianulir akibat kasus Calciopoli. Performa apiknya secara keseluruhan saat itu membuat Franz Beckenbauer dan Bayern München tertarik untuk membawanya ke Jerman dan akhirnya terealisasi pada tahun 2007.

Bapak Nomor 9 Sepak Bola
Sebagai nomor 9, karakter bermain Toni memang tiada duanya. Meskipun tidak lincah, ia memiliki dua kaki yang sama efektifnya, andal dalam duel udara, memiliki postur yang tinggi dan kuat, memiliki jangkauan kaki yang panjang, tangguh dalam penguasaan bola, agresif, dan utamanya, oportunis di kotak penalti lawan.

Kemampuannya dalam mencetak gol pun diakui para pencinta sepak bola. Tanpa perlu dipertanyakan, di lemari trofinya ia punya satu sepatu emas Serie B (2003/04), dua sepatu emas Serie A (2005/06, 2014/15), satu Torjägerkanone Bundesliga [2007/08], satu sepatu emas Piala UEFA (2007/08), dan
satu sepatu emas Eropa (2005/06).

Mengagumkannya lagi, sepatu emas Serie A yang kedua diperolehnya pada usia 38 tahun bersama Hellas Verona, klub papan bawah Serie A. Sepanjang 22 tahun kariernya, ia telah mencetak 322 gol, baik bersama klub atau pun tim nasional Italia. Seperti ucapan Der Kaiser di awal perbincangan, Toni memang jaminan gol. Bersama Die Bayern sendiri ia telah mencatatkan statistik mengesankan dengan raihan 38 gol dari 60 penampilan selama empat tahunnya bermain bersama klub.

Nomor 9 Terakhir?
Di era sepak bola modern seperti sekarang ini, gaya bermain pemain nomor 9 murni seperti Toni sudah mulai ditinggalkan. Seorang penyerang kini harus bisa beradaptasi dengan kebutuhan permainan yang sudah semakin dinamis.

Tengok Mario Mandzukic selama masih di Juventus. Ia rela diturunkan menjadi pemain di pos sayap dan walau bermain cukup efektif di sana, tentu yang teringat di memori semua adalah Super-Mandz sebagai penyerang tengah yang ganas.

Saat Toni memutuskan pensiun pada tahun 2016 lalu, media di Italia tanpa ragu menyebutnya sebagai "The Last Great Italian Centre Forward." Fakta telah membuktikan semakin sulit mencari pemain nomor 9 murni yang hebat saat ini di sepak bola Negeri Pizza tersebut, tak terkecuali juga mungkin di seluruh dunia.